Saat ini, istilah "Thrifting" sedang ramai diperbincangkan di berbagai kalangan termasuk di kalangan mahasiswa. Banyak dari mereka yang memiliki minat terhadap dunia thrifting beralasan bahwa mereka bisa mendapatkan barang branded dengan harga yang relatif lebih murah dari harga yang sebenarnya. Selain harganya yang relatif lebih murah, barang yang kita dapatkan di tempat thrift ini juga kecil kemungkinannya sama dengan orang lain, kalau pun ada yang sama, pasti tidak akan banyak karena barang hasil thrifting ini biasanya memiliki stok yang terbatas.
Apa itu Thrifting dan Apa Perbedaan antara Thrift dengan Thrifting?
Thrifting bisa diartikan sebagai kegiatan berbelanja barang atau pakaian bekas pakai yang masih bagus dan masih layak pakai. Meskipun barang thrift merupakan barang bekas pakai, kualitas yang didapatkan tetap bagus dan tidak mengecewakan, dengan catatan bahwa pembeli harus terampil dalam memilihnya.
Thrift dan thrifting memiliki penjelasan yang berbeda. Thrift merupakan barang bekas yang diperjual-belikan, sedangkan thrifting adalah sebuah kegiatan membeli barang-barang bekas yang dijual kembali.
Meski memiliki banyak peminat, nyatanya ada beberapa dampak negatif dari usaha thrifting tersebut, diantaranya:
1. Berkurangnya minat terhadap produk lokal
2. Dapat menimbulkan penyakit kulit yang kemungkinan terdapat pada baju thrift tersebut
3. Meningkatkan permintaan terhadap barang bekas
Hal itulah yang kemudian membuat pemerintah menetapkan larangan usaha thrifting yang dijelaskan dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.18 Tahun 2021 tentang barang dilarang ekspor dan barang dilarang impor.
"Sedikit tanggapan saya mengenai Permendag No.18 Tahun 2021, menurut saya padahal thrift itu adalah salah satu cara me-recycle baju yang jatuhnya merupakan salah satu langkah go green, karena dari yang saya tahu limbah fashion itu sangat berbahaya dan fashion adalah penghasil limbah terbesar nomor 2 di dunia, jadi thrift adalah salah satu cara untuk mengurangi hal tersebut. Pemerintah menyebutkan thrift bisa mematikan lokal brand, padahal pada dasarnya thrift dengan lokal brand itu mempunyai market dan segmennya masing masing." Ujar Theo Septian Wibisana selaku pemilik usaha thrifting.
Salah satu tips agar dapat terhindar dari penyakit dan untuk berjaga-jaga dari penularan penyakit yang kemungkinan terdapat di baju thrift yakni bisa dengan cara merendam baju dengan air hangat lalu dicuci terlebih dahulu menggunakan detergen sebelum digunakan.
Banyak juga mahasiswa yang sudah tahu tentang larangan thrifting ini tetapi mereka tetap memilih melakukan thrifting dengan alasan harganya yang bisa dibilang lebih murah dari harga barang aslinya dan cukup ramah di kantong pelajar. Selain itu, tanggapan terhadap mengenai mulai berkurangnya minat terhadap produk lokal disebabkan karena produk lokal sendiri yang tidak berkembang dengan pesat. Produk lokal masih banyak yang menganggap sepele tentang kualitas produk, sehingga pesona brand lokal belum bisa menarik minat remaja dan anak muda yang menyebabkan lebih banyak dari mereka tertarik terhadap produk impor.
"Alasan saya lebih memilih thrift daripada lokal yaitu karena harganya yang lebih ekonomis dari pada barang lokal, selain itu kualitas dari barang thrift itu sendiri juga banyak yang bagus, jadi bagi saya sebagai mahasiswa yang memiliki uang saku nggak banyak, menurut saya lebih worth it thrift dari pada produk lokal. Meski demikian, untuk beberapa barang tertentu saya juga kadang memakai produk lokal." Ujar Lenny Marlina selaku mahasiswa yang memiliki ketertarikan dengan dunia thrifting.
Reporter :
- Linda Maulina Khairunnisa
- Nur Hikmah Alfiawati
Editor:
0 Komentar