![]() |
Sumber. Perssukma.id |
Beranda pers - Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) adalah surat perintah yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno pada 11 Maret 1966. Surat ini berisi perintah wewenang untuk Soeharto selaku Panglima Komando Operasional Keamanan dan ketertiban (Pangkopkamtib) untuk mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk mengatasi situasi yang buruk pada saat itu. Akhirnya, Presiden Soekarno memutuskan untuk membuat surat perintah yang ditujukan kepada Jendral Soeharto.
Bagi Soeharto, meskipun surat tersebut terdapat banyak versi kemudian, tidak menyurutkan Soeharto untuk mengeluarkan surat keputusan, di Jakarta, 12 Maret 1966. Keputusan Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/KOTI Nomor 1/3/1966 tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) dan ormas-ormasnya di seluruh Indonesia. Disusul 18 Maret, keputusan menahan 15 menteri dan mengangkat sejumlah menteri Angkatan Darat (AD) interim pengisi pos-pos kosong
Reaksi terkejut presiden baru muncul setelah menerima laporan bahwa Menteri/Panglima Angkatan Darat telah membubarkan PKI dengan dasar surat perintah yang ia berikan. Presiden lalu mengeluarkan surat perintah susulan yang kemudian disampaikan khusus kepada Letnan Jendral (Letjen) Soeharto oleh Wakil Perdana Menteri II, Leimena, pada 13 Maret 1966. Akan tetapi, Soeharto tidak memberikan reaksi. Sementara itu, ketiga jenderal yang datang ke Bogor sama sekali tidak pernah bertemu dengan Presiden Soekarno setelah peristiwa itu.
Awal mula penyebab terjadinya Supersemar bermula pada 11 Maret 1966, ketika Presiden Soekarno mengadakan sidang pelantikan Kabinet Dwi Komandan Rakyat (Dwikora) yang disempurnakan dan dikenal dengan nama “Kabinet 100 Menteri”. Ketika sidang dimulai, Brigadir Jendral (Brigjen) Sabur, selaku panglima pasukan pengawal presiden Tjakrabirawa, melaporkan bahwa banyak pasukan liar atau pasukan tak dikenal yang belakangan diketahui adalah Pasukan Komandan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) di bawah pimpinan Mayor Jendral (Mayjen) Kemal Idris. Pasukan ini bertugas menahan orang-orang yang berada di Kabinet yang diduga terlibat Gerakan 30 September (G30S), salah satunya adalah Wakil Perdana Menteri I Soebandrio.
Penyerahan surat perintah tersebut disebabkan oleh ketidakstabilan keamanan negara yang dipicu peristiwa pemberontakan G30S pada dini hari 1 Oktober 1965. Pada 11 Maret 1966, Presiden Soekarno tengah melakukan sidang pelantikan Kabinet Dwikora atau dikenal juga dengan Kabinet 100 Menteri. Panglima Pasukan Pengawal Presiden (Tjakrabirawa), Brigadir Jenderal (Brigjen) Sabur, melaporkan bahwa banyak pasukan liar atau pasukan tak dikenal yang akhir-akhir diketahui sebagai anggota Pasukan Kostrad di bawah pimpinan Mayjen Kemal Idris.
Pasukan Kostrad bertugas untuk menahan sejumlah orang di Kabinet yang terduga ikut terlibat G30S, salah satunya Wakil Perdana Menteri I, Soebandrio. Menurut laporan Brigjen Sabur tersebut, sidang pelantikan kabinet tersebut terpaksa ditutup oleh Wakil Perdana Menteri II, Dr. J. Leimena. Sementara itu, Presiden Soekarno pergi bersama Wakil Perdana Menteri I, Soebandrio, dan Wakil Perdana Menteri III, Chaerul Saleh, dengan helikopter menuju Bogor.
Situasi ini dilaporkan kepada Panglima Angkatan Darat, Mayjen Soeharto, yang absen dari sidang pelantikan Kabinet lantaran dirinya mengaku sakit. Mayjen Soeharto lantas mengutus tiga perwira tinggi Angkatan Darat, yaitu Brigjen M. Jusuf, Brigjen Amir Machmud, dan Brigjen Basuki Rahmat untuk menemui Presiden Soekarno di Istana Bogor.
Ketiga perwira tersebut melakukan pembicaraan dengan Presiden Soekarno terkait gentingnya situasi saat itu. Menurut ketiga perwira ini, Mayjen Soeharto bisa menangani situasi dan memulihkan keamanan bila diberi pegangan surat tugas.
Presiden Soekarno menyetujui usulan tersebut dan ditulislah surat perintah untuk memberikan kewenangan kepada Mayjen Soeharto. Surat itu bertujuan agar digunakan untuk mengambil tindakan yang diperlukan demi meredam gejolak dan mengembalikan kestabilan keamanan negara. Surat tersebut dikenal dengan Supersemar.
Supersemar ini berisikan perintah yang dikeluarkan dari Markas Besar AD yang menginstruksikan Soeharto, selaku Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib), untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengatasi situasi keamanan yang buruk pada saat itu. Surat ini ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia, Soekarno, pada tanggal 11 Maret 1966 di Istana Bogor.
Adapun langkah Mayjen Soeharto setelah menerima Supersemar, diantarnya ialah:
1. Membubarkan PKI dan menahan15 orang menteri yang terlibat Gerakan 30 September 1965.
2. Merombak kabinet baru.
3. Membuka kembali universitas-universitas yang sebelumnya dibekukan oleh Presiden Soekarno.
4. Mengisi departemen yang kosong.
5. Melakukan sidang 2 Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) dan Majelis Perwakilan Rakyat Semesta (MPRS).
Langkah-langkah yang dilakukan oleh Mayjen Soeharto inilah yang dianggap oleh Presiden Soekarno tidak sejalan dengan amanatnya yang tertuang dalam Supersemar yang telah diberikan. Namun, hingga kini, mengenai kesimpangsiuran berita dan fakta sejati mengenai peristiwa Supersemar ini masih belum dapat dibuktikan, karena saksi kunci yang telah wafat.
Bagi sebagian kalangan, Supersemar merupakan titik balik dalam sejarah Indonesia yang mengarah pada perubahan besar, yaitu beralihnya kekuasaan dari Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto. Hal ini mengantarkan Indonesia pada periode Orde Baru yang berlangsung selama lebih dari 30 tahun. Banyak warga yang melihat Supersemar sebagai bagian integral dari perjalanan politik Indonesia yang memengaruhi stabilitas negara hingga saat ini.
Namun, tidak sedikit pula masyarakat yang menganggap bahwa Supersemar perlu dilihat dengan perspektif kritis. Sejumlah akademisi dan aktivis menilai bahwa keluarnya Supersemar menandai dimulainya era pemerintahan otoriter yang berlangsung lama dan mempengaruhi berbagai kebijakan yang hingga kini masih dirasakan dampaknya.
Terlepas dari kontroversi yang ada, Supersemar dijadikan sebagai tanda runtuhnya kekuasaan Soekarno dalam sejarah Indonesia dan awal dari pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto.
Referensi:
https://jurnal.ipw.ac.id/index.php/rinontje/article/download/101/103/313
https://www.tempo.co/politik/3-poin-penting-supersemar-presiden-soekarno-kepada-soeharto-417838
Penulis: Muhammad Nabil Farrel R. Muhammad Habiby Rahmaddani H.
Editor: Rahma Trianasari
0 Komentar