Sumber: Dokumentasi Pribadi Reporter Beranda Pers
Beranda Pers – Pada Kamis, 27 Maret 2025 mahasiswa dari berbagai universitas dan elemen masyarakat bergabung untuk mengadakan aksi demonstrasi pada pukul 15.00 Waktu Indonesia Barat (WIB) di kawasan Tugu Kujang, Kota Bogor. Aksi ini dijaga ketat oleh sejumlah aparat kepolisian untuk mengatur lalu lintas dan mengawasi massa aksi agar tidak terjadi kericuhan. Para demonstran menuntut kebijakan dalam pengesahan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang telah disahkan pada Kamis, 20 Maret 2025 lalu. Menurut mereka, kebijakan yang telah disahkan tersebut akan menimbulkan dampak buruk dalam jangka panjang.
Berdasarkan hasil wawancara reporter Beranda Pers dengan Fakhri Akbar, mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, yang sempat berorasi di depan para demonstran, menjelaskan bahwa Rancangan Undang-undang (RUU) TNI yang disahkan pada 20 Maret 2025 lalu terkesan tidak transparan. “Itu sudah bisa dibilang adalah maladministrasi, karena dalam pasal 10 Undang-Undang tentang Administrasi Publik atau Pemerintahan dijelaskan bahwa asas-asas umum pemerintahan yang baik adalah keterbukaan. Itu dijelaskan lagi di dalam peraturan perundang-undangan bahwa masyarakat harus dilibatkan. Ditambah lagi banyak sekali undang-undang atau RUU yang belum disahkan, yang memang itu adalah hal yang urgent dibandingkan RUU TNI ini,” lanjutnya kemudian.
Selain itu, Fakhri menjelaskan bahwa ada undang-undang yang lebih penting dan harus segera dibahas. “Contohnya, ada RUU perampasan aset, ada juga RUU terkait ART untuk asisten rumah tangga. Itu adalah hal-hal yang urgent. Pertama, perampasan aset adalah untuk koruptor-koruptor yang ada di Indonesia ketika mereka melakukan korupsi, harta-hartanya harus diambil semuanya. Itu akan membuat koruptor-koruptor memikirkan kembali untuk melakukan tindakannya. Kedua, asisten rumah tangga, asisten rumah tangga seharusnya RUU yang harus disahkan, karena banyak sekali pekerja rumah tangga yang ada di Indonesia ataupun di luar negeri yang tidak mempunyai dasar hukumnya, karena mereka banyak sekali terkena kasus pelecehan, kekerasan verbal maupun seksual yang memang mereka tidak mempunyai kekuatan hukumnya. Jadi, pemerintah pun bingung harus dilakukan seperti apa. Jadi, daya hukumnya pun atau dalam bahasa hukumnya itu ultimate to medium itu tidak terlalu kuat seperti itu. Menurut saya, ini tidak bagus karena tadi banyak sekali RUU yang memang harus disahkan dibanding RUU TNI ini,” tambahnya.
Sebagai mahasiswa hukum, Fakhri tentu sadar akan dampak jangka panjang dari RUU TNI terhadap hubungan sipil militer Indonesia. Menurutnya, keputusan yang ditetapkan oleh pemerintah ini tentu menimbulkan dampak negatif, seperti adanya indikasi pihak ruang-ruang sipil seperti yang sedang dialami sekarang, yaitu dengan adanya Direktur Perusahan Umum Bulog yang sudah diisi oleh TNI. “Ini menjadi strategi pemerintah untuk melakukan dwifungsi secara menyeluruh, karena dulu pun tidak langsung. Orde baru, tapi step-by-step di mana Soeharto sangat pintar dari yang beberapa lembaga, sebagian, setengah, akhirnya semuanya. Jadi ada indikasi kita akan kembali lagi ke orde baru, seperti itu. Secara formal atau secara yuridis atau undang-undang, dwifungsi yang lama dan sekarang memang beda. Karena ada batasan 12 lembaga tersebut, tetapi ada indikasi bahwa semua lembaga pemerintahan bisa diisi oleh TNI. Karena dahulu saja, tidak langsung semuanya, tetapi sedikit demi sedikit, akhirnya nanti pun seluruh lembaga pemerintahan bisa diisi oleh TNI. Hal ini mengakibatkan lembaga pemerintah itu mencederai masyarakat sipil untuk bisa ikut serta dalam pemerintahan.”
Fakhri mengaku bahwa ia tidak menaruh harapan apa pun pada pemerintahan, ia justru menaruh harapan besar pada masyarakat Bogor. Ia baru pertama kali melihat gerakan masyarakat Bogor yang begitu masif dari berbagai kalangan aspek masyarakat yang tidak melihat latar belakang. “Harapan saya adalah teruskan perjuangan ini dan terus lawan birokrat-birokrat yang mencederai masyarakat sipil seperti itu,” pungkas Fakhri. Menyinggung perbandingan antara orasi di Kota Bogor dan di kota ia berkuliah, Bandung. Ia mengaku tidak ada perbedaan sama halnya penuntutan dan penolakan Undang-undang TNI yang telah disahkan.
Giza, Perempuan Mahardika Bogor yang sempat berorasi di tengah kerumunan juga menyampaikan pendapat terkait aksi ini. ”Ya kita sudah tahu ya, segala hal yang terburu-buru dan disembunyikan gitu ya, tidak ada transparasi publik. Pasti tentunya dari proses pengesahan sudah tidak berjalan dengan baik gitu ya, menyalahkan aturan. Berarti isi dari undang-undang tersebut tentunya akan kontroversial. Pertama, ya kita tahu sendiri dari draftnya saja sampai saat ini belum kita pegang ya, belum terpublikasi dan belum dipegang oleh masyarakat sipil gitu. Padahal, semua undang-undang dan semua kebijakan tentu akan bersentuhan langsung terhadap masyarakat sipil. seharusnya draft tersebut dari sebelum disahkannya hingga sekarang sudah disahkannya harus transparan gitu,” kata Giza.
“Kita kehilangan supremasi sipil ya, tidak hanya menyoal kebebasan dan sebagainya karena militerisme itu akan kembali hadir, berwujud entah undang-undang, entah dwifungsi dan sebagainya, akan mengambil kontrol penuh terhadap tingkah laku, segala hal yang ada dalam kehidupan kesehariannya masyarakat gitu ya. Pertama itu. Kedua, kontrol tersebut tentu akan merenggut kebebasan berekspresi, kebebasan hak-hak demokrasinya masyarakat, rakyat, dan sebagainya. Ketiga, hal tempat-tempat atau posisi-posisi yang seharusnya tidak ditempati oleh TNI, yang seharusnya oleh para pakar dan sebagainya, diambil alih oleh TNI, apa pun kebijakannya, perlu libatkan masyarakat atau rakyat. Kita yang seharusnya punya supremasi, punya kekuatan terbesar dalam mengambil keputusan. Dampaknya kepada rakyat, tentu yang harus diambil keputusannya atas pertimbangan rakyat,” ungkap Giza.
Selama aksi berlangsung, aparat kepolisian turut memantau aksi massa, mulai dari Tugu Kujang hingga Jalan Pajajaran Bogor. Para mahasiswa yang turun aksi tidak berhenti menyanyikan lagu sampai pada saatnya para mahasiswa melakukan hal anarkis terhadap para aparat, sehingga gas air mata pun diturunkan untuk membubarkan mahasiswa.
Inspektur Polisi Dua (Ipda) Eko Agus selaku Humas Polresta Kota Bogor, memberikan penjelasan tentang pengamanan saat demo. Aparat menurunkan beberapa anggotanya untuk mengamankan aksi demonstrasi tersebut. ”Ya karena sesuai undang-undang ya. Jadi, 3×24 jam sebelum aksi harus melayangkan surat pemberitahuan judul pemberitahuan aksi, tentang siapa penanggung jawabnya, berapa jumlahnya, apa tuntutannya,” ucap Ipda Eko.
Terakhir, Dina selaku medis jalanan menjelaskan, “Sebagai sipil itu punya kekuatan terbesar di negeri ini, apabila TNI ataupun Polri menduduki jabatan-jabatan sipil, itu hanya akan mengurangi esensi dari negara demokrasi itu sendiri dan itu akan mengecilkan kita sebagai masyarakat sipil. Untuk itu, butuh adanya gerakan dari seluruh warga supaya bersama-sama bergerak cabut kembali Undang-Undang TNI. Kita harus fokus terhadap RUU yang akan datang ke depannya, yaitu RUU Polri,” pungkas Dina.
Penulis: Rheinaya Azura, Muhammad Fatir Rahman
Peliput: Rheinaya Azura, Muhammad Fatir Rahman, Irsyad Arif Fadhillah, Dicky Ilham Nudin
Editor: Rahma Trianasari
0 Komentar