Aksi Reformasi Sudah Mati, Menolak Kebijakan Pemerintah yang Merugikan

 
Sumber: Dokumentasi Pribadi Reporter Beranda Pers

Beranda Pers - Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Besar Mahasiswa (BEM KBM) Universitas Pakuan (Unpak) bersama puluhan partisipan mahasiswa mengadakan aksi demonstrasi di Tugu Kujang Bogor pada Rabu, 12 Juni 2024 bertajuk “Reformasi Sudah Mati,” pukul 14.00–16.20 Waktu Indonesia Barat (WIB). Aksi ini bertujuan untuk menyuarakan tuntutan terkait Rancangan Undang-Undang (RUU), serta beberapa kebijakan lain yang dinilai semakin merugikan masyarakat.

Aksi dimulai dari Unpak menuju titik tujuan demonstrasi, yaitu Istana Bogor untuk bertemu Presiden Republik Indonesia Joko Widodo. Namun, oleh pihak kepolisian di Tugu Kujang aksi ini kemudian dihadang. Mahasiswa yang berdemo tidak berhenti bersemangat untuk menyanyikan lagu perjuangan dan berorasi. Tuntutan yang diutarakan diantaranya berupa penolakan terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2024 mengenai Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang mewajibkan setiap pegawai melakukan “iuran pekerja” sebesar 2,5 persen dari pendapatan mereka. Selain itu, massa aksi juga mengkritik pasal-pasal baru revisi Undang-Undang (UU) Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) yang bermasalah. Pembahasan mengenai RUU Penyiaran juga disuarakan dalam aksi ini. Pasal dalam RUU tersebut dikhawatirkan dapat membungkam kebebasan pers dan kebebasan berekspresi di Indonesia, yang mana dua hal tersebut merupakan pilar keempat dalam sistem demokrasi.

Gito Pamungkas sebagai Presiden Mahasiswa (Presma) Unpak mengungkapkan, “Mengapa kita mengambil tajuk Reformasi Sudah Mati, karena semua perjuangan yang dilakukan berdarah-darah, melalui peringatan air mata yang dilakukan tahun 1998 telah dikhianati. Tidak ada poin-poin yang dilakukan dan diperjuangkan di tahun 1998 sebagai buah hasil reformasi itu dijalani, bahkan yang ada justru dikhianati. Oleh karena itu kita memandang reformasi hari ini sudah mati.”

"Kita memandang pemerintah hari ini telah melakukan auto kritik legalisme, dimana hukum dimanfaatkan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaannya guna menguatkan posisinya dengan memainkan celah-celah hukum,” ungkapnya saat ditanya pendapat mengenai alasan mahasiswa menolak RUU TNI dan Polri.

Gito juga menganggap peraturan mengenai Tapera bukanlah sebagai tabungan perumahan rakyat, melainkan tabungan pemerasan rakyat yang berkedok gotong-royong serta sedikit manfaatnya untuk rakyat, justru hanya menguntungkan segelintir elite penguasa. Ia juga menanggapi tentang alasan mahasiswa menolak RUU Penyiaran. Gito memaparkan, “Untuk RUU Penyiaran sendiri, kita tau bahwa itu bentuk pembungkaman paling nyata, dimana pembukaman itu dilakukan menggunakan instrumen hukum yang ada. Hukum dijadikan sebagai alat kekuasaan untuk membungkam semua elemen masyarakat ataupun mahasiswa untuk bersuara kritis. Kita tidak boleh membiarkan RUU Penyiaran ini disahkan atau bahkan sampai menjerat kita semua di kemudian hari.”

Dalam aksi ini, Reporter Beranda Pers mencoba mewawancarai pihak kepolisian terkait dengan suasana demo tersebut. Namun, mereka enggan untuk diwawancarai. Menurut pandangan Reporter Beranda Pers, suasana demo sedikit ricuh. Diawali dengan kedatangan mahasiswa di Tugu Kujang yang membuat macet kendaraan, lalu polisi menutup jalan putar balik ke arah Jalan Pajajaran, hal itu dilakukan guna menghadang mahasiswa untuk beralih ke depan pintu satu Istana Bogor.

Karena dihadang oleh pihak kepolisian, Presma Unpak menyatakan pernyataan sikap sebagai berikut:

  1. Mendesak pemerintah serta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menghentikan proses legislasi yang akan mengubah UU Nomor. 32 Tahun 2002 tentang penyiaran. 
  2. Mendesak pemerintah serta DPR menghentikan proses legislasi yang akan mengubah UU Nomor. 34 Tahun 2004 tentang TNI.
  3. Mendesak pemerintah serta DPR menghentikan proses legislasi yang akan mengubah UU Nomor. 2 Tahun 2002 tentang Polri.
  4. Menolak rencana Tapera yang akan mencekik dengan pemotongan 2,5 persen dari gaji rakyat Indonesia, dan mendesak pemerintah untuk membatalkan Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2024 tentang Tapera. 
  5. Menolak kenaikan Pajak Penambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen. 
  6. Menolak komersialisasi pendidikan dan mendesak pemerintah untuk membuat kebijkan pendidikan gratis. 
  7. Mendesak pemerintah untuk menghentikan eksploitasi lingkungan di Papua maupun di Bogor, seperti Parungpanjang dan Rumpin.  

Gito menjelaskan jika aksi ini tidak dipenuhi, mereka akan melakukan konsolidasi besar dengan semua elemen masyarakat dan mahasiswa. “Kita akan melakukan konsolidasi besar-besaran dengan semua elemen masyarakat, dengan semua elemen mahasiswa, kita akan berkumpul bahwasanya hari ini adalah hari yang kita jadikan sebagai momentum perlawanan, ke depannya sebagai aksi momentum pertama untuk kita mekukan perjuangan-perjuangan yang lebih besar,” ucapnya.


Reporter:
- M. Adzani Arieful Fattah
- Dicky Ilham Nurdin
- Muhammad Nabil Farrel Ramadhan
- Yasinta Saumarisa
- Putra Yassa Galuh
- Ari Izzulhaq Zen
- Mochamad Alwi

Editor:
Alma Rosanna Larasati Maweikere



Posting Komentar

0 Komentar